KEARIFAN LOKAL KABUPATEN WAJO



Kearifan lokal

terbagi dua yaitu secara etimologi dan terminologi. Kearifan lokal secara etimologi yaitu kearifan (kebijaksanaan) dan lokal (stempat). Dan secara teminologi yaitu nilai – nilai yang baik yang ada dalam satu wilayah.

Dengan adanya kearifan lokal kita dapat mengetaui bagaiman budaya yang ada dalam daera, kita dapat mengetahui atau pahami seingga budaya kita tidak terkikis oleh pengembangan zaman.

Sejara wajo menurut lontara skkuna wajo dimulai dengan pembentukan komunitas di kawasan pinggir danau lampulung.  Adapun penamaan lampulung diambil dari kata sipulung yang berarti berkumpul. Perkumpulan ini dipimpin oleh Puangnge Ri Lampulung.Komunitas lampulung terus berkembang dan memperluas wilayanya hingga ke saebawi. Komunitas ini berakhir setelah Puang ri Lampulung meninggal, hingga datang sorang yang memiliki kemampuan yang sama dengan Puang ri Lampulung yaitu Puang ri Timpengeng yang sebagai pemimpin di Boli. Komunitas ini terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.



Setelah meninggalnya Puang ri Timengeng, berdidrilah kerajaan Cinnobati yang didirikan putra mahkota Cina dan kerajaan Mampu yaitu La Paukke.  Adapun urutan Arung Cinnobati yaitu :
Arung Cinnobati I       : La Paukke Arung kemudian diganti ole anaknya
Arung Cinnobati II     : We Panangngareng diganti putrinya
Arung Cinnobati III    : We Tenrisui yang diganti putranya
Arung Cinnoabti IV    : La Patiroi

Sepeninggalan La Patiro, adat cinnobati mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai arung Cinnobati V. Setelah itu, akkarungeng (kerajaan) Cinnobati bubar. Warga dan adatnya berkumul di Boli dan membentuk komunitas baru yaitu Lipu Tellu Kajurue.

La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnobati membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung perama. Ketiga sepupu Latenribali sendiri menguasai beberapa wilayah yaitu La Tenripekkaemenguasai Sabbamparu, La Matarareng menguasai wilayah Takalalla, dan La tenritau menguasai wilayah majauleng. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. Ketiga sepupunya bergelar paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disbut limpo.
         La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng yang berubah menjadi paddanreng Bettempola pertama.
         La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang menjadi Paddanreng Talotenreng
         La Matareng menjadi Paddanreng ri Takalalla menjadi paddanreng Tuwa.

Wajo mengalami perubahan struktural pasca perjanjian Lapadeppa  yang berisi tentang pengakuan hak – hak kemerdekaan orang wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki Absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan wajo pada pemrintahan La Tadampare Puang ri Magalatung. Wajo menjadi persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.

Pada tahun 1610 Wajo memeluk islam secara resmi pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji Sultan Abdulrahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai, Dato ri Tiro Ke blukumba dan meninggal di sana.

Tahun 1660 – 1669 wajo terlibat perang dengan Makassar disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tenga sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai Yo Sengngeng sebagai Menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaiya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.

Pada pemerintaan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, membangun wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata.

Kemanakan La Salewangeng yaitu La Maddukelleng menjadi arung Matowa 31 yang dilantik saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik diantara kerajaan – kerajaan di sulsel. Kemudian La Koro Arung Padali, memodernisasikan struktur kerajaan wajo dengan membentuk jabatan militer Jeneral, Koronere, Manynyoro, dan Kapiteng. Beliau juga menandatanganni Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.

Pada tahun 1945 – 1949 Wajo dibawah naungan Republik Indonesia Serikat, atau Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja. Setelah konfrensi meja bundar, wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1967. Antara tahun 1950 – 1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal yang disebabkan pembrontakan DI/TII. Setelah tahun 1957, pemimpin di wajo seorang bupati. Wajo dulunya kerajaan menjadi Onderafdeling, selanjutnya swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel