PSIKOLOGI OLAHRAGA
Pendahuluan
Psikologi olahraga adalah sebuah cabang ilmu yang relatif baru, terutama di Indonesia. Bersama dengan cabang ilmu lain seperti nutrisi, kedokteran olahraga atau ilmu fisiologi, psikologi olahraga masuk dalam ranah sport science. Sport Science adalah rumpun ilmu pengetahuan yang berfokus untuk membantu atlet agar mempunyai kualitas teknik, fisik dan mental yang berada dalam level tertinggi.
Pentingnya pemanfaatan ilmu psikologi dalam olahraga didasari fakta bahwa ada 3 unsur yang menentukan keberhasilan seorang atlet atau sebuah tim dalam sebuah pertandingan, yaitu; fisik, teknik dan mental. Faktor fisik dan mental adalah dua faktor dalam tubuh manusia yang selalu akan saling mempengaruhi. Orang yang sakit secara fisik akan mempengaruhi kondisi mental, begitu juga sebaliknya. Ada banyak unsur dalam mental seorang atlet yang menentukan keberhasilan sebuah pertandingan, diantaranya adalah motivasi, kepercayaan diri, kecemasan, agresifitas, team cohesion, leadership dan sebagainya. Sebelum membahas tentang unsur-unsur tersebut, terlebih dahulu kita melihat definisi dan sejarah serta ruang lingkup psikologi olahraga.
Psikologi
Ada banyak definisi mengenai istilah psikologi. Salah satu definisi tentang psikologi adalah kajian ilmiah tentang perilaku, emosi dan kognisi manusia dan binatang (Wann, 1997). Psikologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang memfokuskan diri pada perilaku manusia dan semua dinamika di dalam tubuh manusia baik yang terlihat maupun yang tidak bisa dilihat secara langsung. Perilaku manusia meliputi semua hal yang dilakukan oleh seorang manusia baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Dinamika - dinamika yang ada dalam tubuh manusia antara lain kekecewaan, kemarahan, kebahagiaan, konflik dan sebagainya. Dinamika-dinamika ini biasanya kemudian keluar dalam bentuk perilaku.
Psikologi olahraga
Dari definisi-definisi di atas, diperoleh definisi tentang psikologi olahraga sebagaimana disampaikan oleh Wann (1997). Menurutnya psikologi olahraga adalah kajian ilmiah tentang reaksi-reaksi berbentuk perilaku, emosi, dan kognisi dalam situasi olahraga yang meliputi reaksi dari partisipan dan reaksi dari penonton. Menurut definisi ini, semua reaksi dalam atas kondisi olahraga merupakan kajian dari psikologi olahraga. Reaksi-reaksi tersebut antara lain kegembiraan, kemenangan, kekecewaan, atau dorongan yang meluap - luap dan sebagainya. Berdasar definisi juga bisa dilihat bahwa psikologi olahraga meliputi pelaku olahraga dan orang-orang yang secara tidak langsung berkaitan dengan aktivitas olahraga tersebut, misalnya penonton atau pihak manajemen.
Definisi lain psikologi olahraga adalah kajian tentang faktor-faktor mental dan psikologis yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keikutsertaan dan penampilan dalam olahraga, latihan dan aktivitas fisik. Serta aplikasi pengetahuan yang diperoleh melalui studi ini dalam situasi sehari-hari. Tujuan utama penerapan psikologi olahraga bagi para atlet adalah untuk membantu atlet mencapai ketangguhan mental (mental toughness) yang dibutuhkan untuk bertanding. Ketangguhan mental ini dicirikan dengan daya juang tinggi, konsentrasi prima serta kepercayaan diri serta perasaan cemas yang terkontrol.
Sejarah Singkat Psikologi Olahraga
Psikologi olahraga dianggap pertama kali dikenalkan oleh Norman Triplett pada tahun 1898 dengan penelitiannya terhadap para pembalap sepeda. Triplett menemukan bahwa waktu tempuh pembalap sepeda menjadi lebih cepat jika mereka membalap di dalam sebuah tim atau berpasangan dibanding jika membalap sendiri. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa dengan adanya lawan, maka para pembalap akan lebih terpacudibandingkan jika membalap sendirian. Penelitian itulah yang menjadi tonggak dimulainya cabang ilmu psikologi olahraga. Tapi sayang setelah itu, tidak ada lagi penelitian-penelitian atau kajian-kajian ilmiah tentang faktor mental yang berkaitan dengan penampilan seorang atlet.
Baru tahun 1925 laboratorium psikologi olahraga pertama di Kawasan Amerika Utara berdiri. Pendirinya adalah Coleman Griffith dari Universitas Illinois. Griffith tertarik pada pengaruh faktor-faktor penampilan atletis seperti waktu reaksi, kesadaran mental, ketegangan dan relaksasi otot serta kepribadian. Dia lalu menerbitkan dua buah buku, The Psychology of Coaching (1926)- buku pertama di dunia Psikologi Olahraga- dan The Psychology of Athletes (1928).
Pada tahun yang sama, di Eropa sebenarnya juga berdiri sebuah laboratorium Psikologi Olahraga yang didirikan oleh A.Z Puni di Institute of Physical Culture in Leningrad. Namun Laboratorium Psikologi Olahraga pertama di dunia sebenarnya didirikan tahun 1920 oleh Carl Diem di Deutsce Sporthochschule di Berlin, Jerman. Setelah periode tersebut psikologi olahraga mengalami kemandekan. Baru pada tahun 1960-an psikologi olahraga kembali mulai berkembang. Perkembangan ini ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan membuka konsentrasi pengajaran pada Psikologi Olahraga. Puncaknya adalah pembentukan International Society of Sport Psychology (ISSP) oleh para ilmuan dari penjuru Eropa. Kongres internasional pertama diadakan pada tahun yang sama di Roma, Italia. Pada tahun 1966, sekelompok psikolog olahraga berkumpul di Chicago untuk membicarakan pembentukan semacam ikatan psikologi olahraga. Mereka kemudian dikenal dengan namaNorth American Society of Sport Psychology and Physical Activity (NASPSPA). Jurnal Sekolah pertama yang dipersembahkan untuk psikologi olahraga keluar tahun 1970 dengan nama The International Journal of Sport Psychology. Kemudian diikuti oleh Journal of Sport Psychology tahun 1979. Meningkatnya minat melakukan penelitian dalam bidang psikologi olahraga di luar laboratorium memicu pembentukan Advancement of Applied Sport Psychology (AAASP)pada tahun 1985 dan lebih berfokus secara langsung pada psikologi terapan baik dalam bidang kesehatan maupun dalam konteks olahraga.
Kini Psikologi Olahraga sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kongres International Society of Sport Psychology Conference Di Yunani tahun 2000 telah dihadiri lebih dari 700 peserta yang berasal dari 70 negara. American Psychological Association pun telah memasukkan psikologi olahraga dalam divisi mandiri yakni divisi 47. Penerbitan dan jurnal pun sudah sangat banyak. Beberapa penerbitan dan jurnal tersebut adalah (a)International Journal of Sport Psychology (1970); (b) Journal of Sport Psychology (1979) yang kemudian berubah nama menjadi 1988 Journal of Sport and Exercise Psychology; NASPSPA pada tahun 1988. penerbitan lain adalah The Sport Psychologist (1987)—sekarang, Journal of Applied Sport Psychology (1989)— sekarang, serta The Psychology of Sport and Exercise.
Riset tentang psikologi olahraga pertama dilakukan oleh TriplettLaboratorium psikologi olahraga pertama berdiri di Deutsce Sporthochschule Berlin, Jerman oleh Carl Diem Laboratorium psikologi olahraga di kawasan Amerika didirikan oleh Griffith Pembentukan International Society of Sport Psychology (ISSP), Pembentukan North American Society for the Psychology of Sport and Physical Activity (NASPSPA), Pembentukan Canadian Society for Psychomotor Learning and Sport Psychology (CSPLSP), Pembentukan Association for the Advancement of Applied Sport Psychology (AAASP), Pembentukan Divisi 47 (tentang Exercise and Sport Psychology) dari American.
Cakupan Psikologi Olahraga
Secara umum, praktek-praktek psikologi olahraga dilakukan oleh profesional yang disebut sebagai psikolog olahraga. Namun, pada perkembangannya, isu-isu psikologi olahraga bersinergi dengan berbagai cabang ilmu, antara lain:
1. Kepelatihan
Peran psikologi olahraga dalam kepelatihan mencakup dua hal, yakni: teori kepelatihan dan praktek kepelatihan. Di dalam teori kepelatihan, ilmu psikologi olahraga membantu para ilmuwan kepelatihan untuk merumuskan sistem kepelatihan yang efektif dan efisien melalui riset-riset yang secara spesifik mengarah pada perilaku berlatih para atlet. Peran ilmu psikologi dalam praktek kepelatihan seperti membantu pelatih untuk meningkatkan mental bertanding serta mengatasi masalah-masalah dalam proses latihan.
2. Pendidikan
Di dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan jasmani, peran psikologi olahraga adalah meningkatkan pemahaman pendidik terhadap isu-isu yang menyangkut kondisi mental. Peran psikologi olahraga ini bisa dilakukan melalui penelitian-penelitian maupun pelatihan-pelatihan bagi para guru tentang perkembangan aspek psikologi sesuai dengan perkembangan usia anak didik.
3. Masyarakat
Tujuan dari penerapan ilmu psikologi olahraga dalam kehidupan masyarakat adalah kampanye hidup sehat dan aktivitas fisik kepada masyarakat luas. Kampanye ini bisa dilakukan dengan program-program yang disesuaikan dengan situasi sosial psikologis masyarakat.
Motivasi Pada Atlet
Definisi
Motivasi berasal dari kata “movere” yang berarti bergerak atau berpindah. Dari kata itu kemudian diperoleh kata motif dan motivasi. Motif adalah sesuatu yang berfungsi untuk meningkatkan dan mempertahankan serta menentukan arah dari perilaku seseorang. Sedangkan motivasi adalah perwujudan dari motif-motif yang dimiliki oleh seseorang. Wann (1997) mendefinisikan motivasi sebagai sebuah proses peningkatan kondisi emosional dalam diri organisme yang membantu untuk mengarahkan dan mempertahankan perilaku.
Berdasar dua definisi di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa motivasi adalah segala sesuatu yang menjadi alasan bagi seseorsang untuk melakukan dan mempertahankan perilaku tertentu yang dicirikan dengan adanya proses internal dalam diri seseorang. Definisi ini menekankan bahwa sebenarnya motivasi bisa berbentuk apa saja baik berasa dari dalam diri maupun dari luar diri seseorang.
Jenis motivasi
Deci & Ryan (2000) membagi motivasi menjadi 2, yaitu: yakni motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
1. Motivasi intrinsik
Adalah melakukan aktivitas dengan tujuan untuk mencapai kepuasan atas aktivitas itu sendiri tanpa memperhatikan konsekuensi yang muncul dari aktivitas tersebut. Hal ini berarti motivasi instrinsik adalah motivasi yang muncul karena keinginan untuk menikmati aktivitas tersebut. Definisi lain dari motivasi intrinsik adalah motivasi yang datang dari dalam diri individu dan sedikit dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar.
Tipe Motivasi Intrinsik
Mengapa motivasi intrinsik penting bagi seorang atlet? Tidakkah cukup diberi uang saja agar para atlet mau untuk menunjukkan kehebatannya? Jawabannya mungkin relatif, tapi menilik kasus di atas, uang ternyata bisa penting, tapi bisa juga tidak. Motivasi Intrinsik penting karena setiap individu mempunyai individual differences yang membedakan dengan orang lain. Individual differences ini meliputi kesenangan, tingkat kepuasan, kemampuan penyesuaian diri, tingkat emosi, kerentanan dan sebagainya. Selain itu, motivasi intrinsik jauh lebih sakti untuk bisa memunculkan sebuah perilaku tertentu. Kesaktiannya lantaran motivasi ini berasal dari dalam diri, sehingga mempunyai kecenderungan yang lebih kuat serta tahan lama. Berbeda dengan motivasi ekstrinsik, ketika sumber motivasi itu sudah hilang atau berkurang nilainya, maka perilaku yang diharapkan tidak akan muncul.
Menurut Self Determination Theory yang juga dikembangkan oleh Deci & Ryan (1985, dalam Vallerand, 2004) motivasi intrinsik mempunyai tiga tingkatan, yaitu: (1) Knowledge. (2) Acomplishment, (3) Stimulation.
1. Motivasi Intrinsik untuk Tahu (Knowledge).
Dalam motivasi untuk tahu ini, seseorang melibatkan diri dalam sebuah aktivitas karena kesenangan untuk belajar. Dalam konteks olahraga, motivasi ini penting dalam proses latihan. Para pemain harus mempunyai motivasi intrinsik jenis ini untuk memastikan bahwa mereka selalu terlibat dalam proses latihan dengan baik. Untuk selalu menggugah motivasi ini, para pelatih juga harus selalu kreatif menciptakan metode latihan yang selalu memberi sesuatu yang baru kepada para pemain. Jika pelatih gagal memberi sesuatu yang baru, mungkin motivasi yang sudah dimiliki oleh para pemain akan luntur perlahan-lahan.
2. Motivasi Intrinsik yang berkaitan dengan pencapaian (Accomplishment).
Manusia selalu mempunyai naluri untuk mencapai sesuatu. Bahkan secara ekstrem, orang yang sudah kaya raya pun tidak pernah berhenti untuk mengeruk harta. Ini membuktikan bahwa setiap manusia mempunyai keinginan untuk mencapai sesuatu. Dalam konteks olahraga, atlet sebenarnya juga mempunyai hal serupa. Motivasi intrinsik tipe ini seseorang melakukan aktivitas karena terdorong oleh kesenangan mencoba untuk melampaui dirinya sendiri. Artinya ada keinginan untuk lebih dan lebih. Seorang pelatih bisa menciptakan hal ini dengan selalu membawa unsur kompetisi dalam proses latihan. Para pemain juga harus selalu mengikuti kompetisi yang kompetitif dengan jenjang yang selalu meningkat. Selain untuk mengevaluasi kemampuan, tapi juga agar mereka selalu terfasilitasi untuk melewati pencapaian yang sudah pernah diperoleh.
3. Motivasi Intrinsik untuk merasakan stimulasi (Stimulation).
Jenis ini mendorong seseorang untuk terlibat dalam sebuah aktivitas dalam rangka merasakan kenikmatan yang sensasional. Para atlet panjat tebing, pendaki gunung dan sebagainya adalah contoh orang-orang yang selalu ingin merasakan pengalaman yang sensasional ini. Untuk atlet lain, barangkali dengan mendapat pencapaian tertinggi, maka pengalaman sensasional ini akan tercapai. Bayangkan jika seseorang berhasil mendapatkan medali emas olimpiade, pasti luar biasa. Untuk itulah, para atlet harus selalu dirangsang untuk selalu mengeset sasarannya setinggi mungkin.
2. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik biasa didefinisikan motivasi yang datang dari luar individu. Dengan kata lain, motivasi yang dimiliki seseorang tersebut dikendalikan oleh objek-objek yang berasal dari luar individu. Contoh-contoh motivasi yang bersifat ekstrinsik adalah: hadiah, trofi, uang, pujian, dan sebagainya.
Tipe motivasi Ekstrinsik:
Motivasi ekstrinsik tidak selamanya hanya bersifat sementara, tapi dengan penanganan yang tepat, motivasi ekstrinsik bisa memberi kekuatan yang tidak kalah dengan motivasi intriksik. Berikut ini beberapa tingkatan motivasi ekstrinsik:
1. External regulation.
Regulasi eksternal mempunyai makna bahwa sebuah perilaku muncul dalam rangka mendapatkan benda-benda/sesuatu yang bersifat eksternal (medali, trofi) serta dalam rangka menghindari tekanan (tekanan sosial). Bukti bahwa seorang atlet sedang berada dalam fase regulasi eksternal adalah ketika mereka mengatakan, “Saya akan pergi berlatih hari ini karena saya tidak ingin dicadangkan oleh pelatih pada pertandingan mendatang!” Dalam ucapan ini tampak bahwa pemain tersebut datang ke latihan hanya karena dia takut tidak bermain di tim inti. Jadi motivasinya bukan karena memang dia membutuhkan latihan. Bagaimana seandainya sang pelatih sudah cinta mati kepadanya? Tentu saja dia akan sering mangkir latihan, karena toh nggak latihan saja dia tetap akan main di tim utama.
2. Introjected regulation.
3. Regulated through identification
Setelah melewati proses internalisasi, seorang pemain mempunyai pilihan atas perilaku-perilaku yang akan dia lakukan. Perilaku-perilaku tersebut akan dibandingkan dan dinilai mana yang layak untuk dilakukan. dalam fase ini, motivasi ekstrinsik telah bergerak ke arahregulated through identification, yakni munculnya perilaku-perilaku yang dinilai dan menjadi pilihan untuk dilakukan. Pemain sudah bisa mengidentifikasi perilaku yang harus diambil. Dalam ucapan, pemain yang sudah mempunyai motivasi ekstrinsik tipe ini akan mengatakan, “ Saya memilih untuk berlatih karena berlatih akan membantuku tampil lebih baik untuk pertandingan mendatang.” Contoh itu menggambarkan bahwa pemain tersebut sudah mulai memiliki kesadaran akan pilihan didasarkan atas nilai atau sesuatu yang lebih baik.
4. Integrated regulation
Tipe keempat yang juga tipe paling tinggi berdasarkan teori self determinism adalah integrated regulation. Dalam integrated regulation ini, pemain sudah memilih sebuah perilaku untuk dikerjakan yang bergerak dari motivasi eksternal ke tindakan yang terpilih. Dalam kasus ini, pilihan yang diambil oleh seseorang dibuat berdasarkan fungsi-fungsi yang berhubungan dengan berbagai macam aspek dari diri seseorang. Seorang atlet sudah memilih untuk tetap tinggal di rumah dibanding jalan-jalan bersama teman-teman, sehingga atlet tersebut akan siap menghadapi
pertandingan esok hari. Ada pilihan-pilihan aktivitas lain yang muncul bersamaan dengan aktivitas yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemain. Dalam tahap ini, berarti memang motivasi eksternal mencapai titik efektifnya karena selain menjadi pengatur perilaku atlet, motivasi eksternal ini juga sudah memberi kesadaran bagi seorang atlet akan perilaku yang seharusnya dia lakukan.
Teknik meningkatkan Motivasi
Berikut ini beberapa aplikasi teori dalam konteks sehari-hari untuk meningkatkan motivasi atlet (Whitehead, 1995).
Tekankan pada penguasaan teknik secara individual (individua mastery).
Motivasi intrinsik memang lebih efektif, sehingga penguasaan kemampuan sebagai dasar motivasi intrinsik harus lebih banyak ditekankan. Penekanan ini diwujudkan dalam bentuk umpan balik atau masukan-masukan dengna konkret. Pelatih yang hanya berfokus pada kesalahan cenderung akan mengurangi nilai dari masukannya dan kemungkinan membuat para atlet menjadi stress. Contoh, saat memberi masukan dan umpan balik, pelatih harus memberi penekanan pada perkembangan personal yang telah dibuat (mis, “Kamu benar-benar sudah mulai menguasai teknik memukul dengan benar”). Also,sweeten bitter medicine by prefacing comments with a competence-promoting introduction (e.g., “If you want to make that good shot great—why not try to . . .”).
Jangan terlalu membandingkan antar teman latihan
Membandingkan antar teman latihan cenderung akan merusak motivasi para atlet. Hal ini disebabkan oleh rasa ketidakpuasan dan munculnya rasa malu sehingga akan menyebabkan timbulknya rasa frustrasi dari atlet tersebut. Ketika seorang atlet terlalu sering dibandingkan, maka harga diri atlet tersebut menjadi terganggu. Untuk itu, dari pada membanding-bandingkan antar teman latihan, lebih baik menekankan lebih detil untuk memberikan masukan secara teknis kepada atlet tersebut.
Memberikan banyak pilihan saat latihan.
Secara konseptual, motivasi intrinsik menekankan pada keingintahuan serta penguasaan. Untuk itu, proses latihan harus bervariasi sehingga atlet mempunyai banyak pilihan. Pilihan inilah yang akan membuat para atlet menyesuaikan diri dengan kemampuannya, sehingga persepsi atas penguasaan materi menjadi lebih baik.